Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

Jemma Adam #2

"Kau masih suka menulis?" ㅤㅤPertanyaanmu kala itu hanya kujawab anggukan, kan, Dam? Sederhana sekali. Padahal bagiku, itu pertanyaan yang kompleks. ㅤㅤAku hanya tidak mau kau mengulik lebih lanjut, aku belum siap kalau kau kemudian bertanya, menulis tentang apa? Menulis tentang siapa? Apa ada kita di--ah bodoh, abaikan. Imajinasiku memang sudah bergerak kejauhan. ㅤㅤKadang-kadang aku takut, Dam. Aku takut akan terbangun dan melupakan segalanya, aku takut akan terbangun dengan perasaan kosong yang membuatku ingin lari sampai surya setinggi kepala, dan, dan siapa pula yang bisa jamin esok aku masih buka mata? ㅤㅤMungkin karena itu aku masih terus menulis. Menuliskan apa saja yang aku temukan, dan yang masih kucari dalam pikiran. Orang-orang berpikir untuk menulis. Aku? Dari menulislah aku berpikir. Barangkali sebab itu, tulisanku tak pernah menemui akhir. Sebab seiring aksara yang kuukir, ada hal baru yang senantiasa lahir. ㅤㅤ"Jemma, kalau kehidupan kita adalah cer...

Jemma Adam #1

Begini, Bapakku bilang, seorang lelaki harus jadi berani. Betul, tidak masalah untuk sesekali ber-air mata, toh, kita semua cukup manusia. Menjadi sedih itu bukan dosa. Menjadi tidak baik-baik saja itu bukan nista. ㅤㅤTapi, Dam. Berani itu penting, apalagi berani menerima dan memaafkan dengan rela. Iya, aku tahu, orang-orang banyak berkoar perihal roda kehidupan. Sementara di ujung lainnya, banyak yang harus menerima kalau ternyata roda mereka nggak bergerak barang sesenti. Roda mereka berhenti, dan mungkin, memang begitu takdir yang harus mereka imani. ㅤㅤTapi, Dam. Bukankah kita memang sesekali butuh berhenti? Bukankah memang, kita tidak akan abadi? Sama seperti waktu kau tidur dan mencukupkan bekerja, sama seperti kau diam dan mencukupkan beradu dengan dunia. ㅤㅤ"Kalau lahir kembali, aku lebih baik jadi buih di lautan saja," katamu waktu itu. Angin pantai menerbangkan rambutmu yang mulai gondrong sebahu, pasti sudah nggak cukur dua bulan. Kebiasaan. ㅤㅤ"Ibukmu gim...

Kalau Kau Karya Seni di Museum

pagi ini aku terbangun dan buru-buru pakai mantel paling nyaman, jalanan akan sepi karena ini hari kerja, tidak ada yang berangkat liburan (kecuali aku, tentu saja). tapi aku tidak pernah pergi jauh-jauh, hanya mau naik kereta dan turun di salah satu stasiun terdekat museum kota, mampir di toko bunga sebentar, siapa tahu bisa kutaruh di taman (itupun kalau tidak dimarahi satpam), tapi ya, aku kan mau menghargai pahlawan, kalau kutaruh bunga di taman museum kota, patung-patung di dalam boleh jadi tersenyum melihatnya. aku masuk dan bayar karcis, lalu bertemu serombongan keluarga. bapak, ibu, dan anak lelakinya. ibunya bilang jangan jauh-jauh, nanti barang yang rapuh bisa jatuh. bapaknya beda lagi, menakut-nakuti, seolah ada yang bisa hidup dari patung-patung yang mati. tapi bapaknya tidak seratus persen salah, kau ada di sana. di tempat paling pojok barisan patung pejuang. hormat tegap, dan sempat membuat patung lain jadi gagap. tapi siapa peduli? pada akhirnya kau jadi patung juga...

Cita-Cita

aku malu sekali untuk bilang pada ibu. di pagi yang dulu, aku sempat punya cita-cita jadi penulis buku. tidak perlu yang luar biasa, cerita anak-anak saja. mimpi itu kemudian kugantungkan di buku matematika. yang mana kemudian ibu menyadari, sebab ada empat di halaman depannya. ibu menjemur buku matematikaku dan tidak berkata apa-apa. aku tahu ia marah, ia ingin aku jadi pegawai negeri. anak pertama penghasilannya harus bisa menyekolahkan adik-adik nanti. siangnya aku bercita-cita jadi penyanyi. ibu menerka-nerka kenapa ada suara yang berisik sekali di kamar mandi. maka ia mencuci pakaian-pakaian di lemari, mendekat dan mendengarku sambil berbisik-bisik sendiri. suaraku di simpannya di kantung celana, bukan yang dangkal, kantungnya sedikit panjang, hingga susah bagiku untuk menggapai dan membebaskan. matahari kemudian terbenam dan aku mengabadikannya dalam ingatan, lalu sekejap saja, aku mau jadi pelukis. maka ku ambil oranye dari baskara, biru dari samudera, hijau dari bumanta...

Tentang Waktu

Sekarang tidak masalah kalau kau istirahat dulu. Duduk, bersolonjor kaki, menungggu keretamu datang sesuai jadwal. Tidak. Jangan terpengaruh orang di sebelahmu yang lebih dulu menaiki keretanya. Kalian punya jadwal keberangkatan yang berbeda, meski sebelumnya sempat duduk sama-sama. Kalian punya tujuan yang berbeda meski sebelumnya punya titik awal yang sama. Kehidupan ini bukan ujian sekolah, sayang. Jawabanmu dengan jawaban teman di sebelahmu tidak bisa sama, meski boleh jadi pertanyaan yang diajukan tak berbeda. Kalian punya nilai kehidupan masing-masing yang tidak bisa dipaksa. Sekali dua, teman dudukmu akan berganti. Apalagi nanti, kalau kau sudah di dalam kereta. Kau bisa lihat mobil-mobil bus di jalan raya. Lihat, mereka mungkin punya tujuan yang sama denganmu. Tapi caranya? Berbeda. Jadi singkatnya begini, tidak perlu merasa tertinggal sendiri, tidak perlu merasa kecil hati, jadwalmu mungkin tidak secepat mereka, caramu mungkin tidak sebagus mereka, tapi, pada akhirnya, k...

Akam, Si Kecil yang Besar

Suasana malam kota masih begitu ramai, kadang aku bertanya-tanya, apa semesta pernah merasakan lelah? Maksudku, lihat kanan dan kiri, kendaraan, gedung-gedung pencakar, lalu lalang manusia, semuanya. Apa pernah sekali saja semesta megeluh pada Tuhan? Aku mengeratkan ransel begitu sampai di halte, berat sekali ranselku hari ini, aku membawa banyak proposal dan tugas-tugasku sendiri, juga beberapa berkas sekretariat yang masih harus ku periksa begitu sampai di rumah. Beberapa hari lagi sudah hari masuk hari eksekusi, aku dan teman-teman berencana menghadap kepada dewan perwakilan, menyuarakan aspirasi, turun aksi, misi mahasiswi. Menghela napas gusar, aku jadi ingat Bapak dan Ibu, entah apa yang akan mereka lakukan kalau tahu ini penyebabku pulang malam. Jangankan turun aksi seperti ini, pertama kali mendengar aku memilih Jurusan Ilmu Politik, mereka tidak setuju. Mau jadi apa aku nanti, begitu katanya.   Entahlah, kalau dipikir pun, berada di jurusanku yang sekarang ini—...

Perbincangan dengan Tuan Bulan

Semalam aku naik ke atap rumah, tidak peduli meski Ibu marah-marah. Bapak menonton televisi dan terlihat tidak peduli, barangkali ia pikir, anak yang Ibu maksud adalah laki-laki. “Sebentar, Bu. Sebentar saja.” “Ya sudah, cepat kembali, jangan jatuh. Ibu masih butuh tanganmu untuk memotong sayuran  dan berbenah” Di atas atap, aku menyapa langit malam dan Tuan Bulan. Kutanya mengapa gelap sekali, aku jadi tidak bisa terka apakah ia sedang sedih, atau tidak. “Aku sudah sejak mati dari sejak dihidupkan,” katanya tiba-tiba. Kulihat permukaannya yang tidak rata –hanya untuk tidak bilang gradakan. “Dan setiap malam adalah upacaranya. Upacara kematian.” “Kulihat bintang jatuh, menyapa komet yang apinya utuh, dan menerima cahaya matahari dan sinarnya yang mulai rapuh.” “Aku menyerap kesedihan semesta, dan mati begitu saja.” Tuan Bulan lalu menatapku sebelum melanjutkan. “Sekarang kau, apa yang hendak kau ceritakan?” Aku terdiam mendengar pernyataann...

Guling

Guling. Mungkin, kalau bangkit lagi di waktu yang lain. Aku akan memilih jadi guling biru muda di kamarmu. akan kuterima hukumanku, yang mana dapat melihatmu menangis tanpa bisa berbuat semauku; tanpa bisa berkata tidak apa-apa, atau mendekapmu dengan eratnya. Aku akan melihatmu menangis tanpa bersuara, aku akan melihatmu kacau dan tak punya kuasa, aku akan melihatmu meracau dan rela terbanting ke mana saja. Aku akan menjadi guling biru tua di kamarmu, yang jika tiba sedihmu, kau dekap, kau gunakan untuk sembunyikan isak. Tapi aku akan terima hukumanku; yang mana menjadi pesakitan, melihatmu menangis tanpa bisa memberi dekapan. Aku akan terima, sebab di waktu sekarang, barangkali aku jadi penyebab malammu kau habiskan di atas ranjang, mendekap guling biru tuamu, membiarkan tangis dan sepi bertamu

Tentang Malam

Aku cinta sekali personifikasi, dan kali ini aku membuat malam menjelma manusia. Di kotaku, malam berjalan pelan-pelan, mengendap seolah ia adalah buronan penjara yang punya catatan kriminal di mana-mana. Tapi memang mungkin begitu, ia banyak membuat penduduk lainnya menangis, atau menyimpan sesak sambil meringis. Penjahat paling berbahaya, sebab di kotaku, keluhan dan air mata adalah dosa. Yang kuingat dari Malam adalah, aku pernah jadi hakim dan jaksa di pengadilannya. Aku menyatakan ia dibebaskan dan bersalah secara bersamaan. Saksi yang hadir jadi kebingungan dan membiarkan sidang ditunda sampai minggu depan. Selama itu, Malam hanya jadi tahanan yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia payah dan terlihat begitu lelah. Dulu aku sempat mencintainya, maksudnya, aku mencintai bulan dan bintang yang dihadiahkannya untukku. Hanya sebentar saja, sampai pagi datang dan keduanya menghilang. Aku pernah bertanya kenapa ia begitu semu, ia bilang, salahkan saja waktu. Salahkan saja wak...

Kata Bapak, Cinta Bukan Ilmu Eksakta

Tidak ada hujan pagi ini, maka Bapak mengeluarkan dan mencuci si Runi di depan rumah. Iya, Runi, nama motor Bapak. Motor tua itu dimiliki Bapak sejak masa muda, terlalu banyak kenang yang membuatnya jadi tak bisa tergantikan. Dengar-dengar, Ibu perempuan pertama yang berhasil duduk di boncengannya. Kalau sudah diungkit masalah itu, Ibu bakal tersipu dan Bapak bakal usil agar Ibu cemburu. “Ibu nggak tau, pacar-pacar sebelumnya dijemput pakai mobil dulu.” Omong-omong tentang pacar sebelumnya, aku selalu bertanya-tanya perihal hubungan Bapak dengan perempuan yang bersamanya sebelum Ibu. Maksudnya, Bapak bilang ia suka Ibu sejak jaman sekolah, lantas kenapa tidak langsung bilang dan mereka bisa berdua sejak muda? Kenapa harus lebih dulu banyak perempuan lainnya? “Laki-laki itu, tetap laki-laki, In.” Bapak selalu jawab begitu, dan menurutku itu terlalu ambigu. “Yah, perempuan juga tetap perempuan, Pak? Masa berubah jadi kura-kura?” Bapak tertawa sambil menyirami Runi denga...

Justifikasi Patah Hati

Pada periode pertama, kudengar persona-persona meminta kuasa untuk lari sekencang-kencangnya. Merutuklah Semesta mendengarnya, mengapa tidak langsung menjadi bintang jatuh saja? Kecepatan cahaya jelas lebih laju dibanding kaki-kaki yang menapak di mayapada. Persona tidak terima, balas menyahutlah ia, kau pikir aku mau jatuh dalam kedua? Lalu setelahnya, ia menjelma kaum-kaum eskapis yang lomba lari tiap terbit baskara. Semesta merutuk lagi, tahu betul kalau siang hari nanti mereka akan berhenti dan meminum kembali segala hal yang dilarang; wujudnya asa, harapan, dan kenang. Persona menulikan telinga, pening ia mendengar Semesta, dan karena hanya dia yang punya akal, dianggapnya Semesta terlalu bodoh untuk paham. Bahwa terkadang, ia kabur untuk melupakan; atau memang untuk mengingat. Siklus berputar selagi beradu rapal, semburat jingga bumantara membuat mereka menutup mata, membiarkan semilir angin membelai wajah-wajah—yang untuk beberapa alasan terlihat tidak rela. Hanya seben...