Akam, Si Kecil yang Besar


Suasana malam kota masih begitu ramai, kadang aku bertanya-tanya, apa semesta pernah merasakan lelah? Maksudku, lihat kanan dan kiri, kendaraan, gedung-gedung pencakar, lalu lalang manusia, semuanya. Apa pernah sekali saja semesta megeluh pada Tuhan?

Aku mengeratkan ransel begitu sampai di halte, berat sekali ranselku hari ini, aku membawa banyak proposal dan tugas-tugasku sendiri, juga beberapa berkas sekretariat yang masih harus ku periksa begitu sampai di rumah. Beberapa hari lagi sudah hari masuk hari eksekusi, aku dan teman-teman berencana menghadap kepada dewan perwakilan, menyuarakan aspirasi, turun aksi, misi mahasiswi.
Menghela napas gusar, aku jadi ingat Bapak dan Ibu, entah apa yang akan mereka lakukan kalau tahu ini penyebabku pulang malam. Jangankan turun aksi seperti ini, pertama kali mendengar aku memilih Jurusan Ilmu Politik, mereka tidak setuju. Mau jadi apa aku nanti, begitu katanya. 

Entahlah, kalau dipikir pun, berada di jurusanku yang sekarang ini—seni rupa murni—saja aku tidak tahu akan jadi apa. Maksudku, bukankah pertanyaan ‘kalau besar mau jadi apa’ adalah profesi yang akan kita lakukan? Kalau kujawab aku hanya ingin terus menggambar dan menyalurkan perasaan lewat seni, rasa-rasanya masih kurang ‘kan?

Pelukis. Terkenal. Yang karyanya di simpan di Museum Louvre. Berdampingan dengan lukisan Monalisa. Begitu kan yang mereka inginkan?

Pencapaian, pencapaian, pencapaian, sampai sisi lainnya terlupakan.

Busway kemudian datang, beberapa orang sibuk masuk, melawan arus orang yang keluar. Seharusnya mereka bisa sabar.

Aku baru hendak beranjak masuk saat orang-orang terduduk di kursinya sendiri-sendiri, tidak ada kursi yang kosong. Barangkali mereka sudah membuat janji untuk sama-sama lembur hari ini.

“KAK!” Aku menoleh, walaupun tidak jelas siapa yang dipanggil Kakak, hanya saja, selainku, mereka semua Ibu-ibu dan Bapak-Bapak.

Seorang anak kecil, tangan kanannya mengenggam erat ukulele dan kencrengan sementara tangan kirinya melambai-lambaikan dompet biru terang.

Tunggu, itu dompetku!

Aku terburu keluar, menghampiri anak kecil itu, memutuskan menunggu busway selanjutnya.

“Ini Kak,” katanya, napasnya terburu, sepertinya ia lari sampai ke sini. “Tadi jatuh di sebelah sana.” Ia menunjuk dengan telunjuk kanannya, memindahkan gitar dan kencrengannya sejenak ke kiri.
Aku menerima dompetku, merapalkan banyak-banyak terima kasih. Dompet itu lebih dari berharga buatku, identitas, kartu tanda mahasiswa, kartu atm, dan foto masa kecil, semuanya di sana.

“Boleh di cek, Kak. Akam takut ada yang hilang,” katanya tulus.

Ah, jadi namanya Akam. Aku tidak mengecek dompetku seperti yang diminta, dan justru mengajaknya duduk sebentar di halte. Akam awalnya menolak, namun kemudian ia bersedia.
Anak kecil itu, Akam, sepertinya masih sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Umur yang masih cukup belia. Waktu seumurnya, apa yang aku lakukan ya?

Aku melirik kencrengan dan gitar yang sedang ia letakkan di samping bangku, tanpa ia bilang, aku jelas tahu, ia mengamen. Kalau tidak untuk apa alat musik itu? Dan kantung permen di saku?

“Maaf ya, Kak, gara-gara Akam Kakak jadi harus keluar busway lagi,” katanya, membuyarkan atensiku dari perkiraan tentang apa yang dilakukannya malam-malam begini.

“Justru terimakasih banyak,” kataku. “Kalau boleh tahu, Akam ngamen?” tanyaku, tidak mau berpraduga lebih jauh.

Anak kecil itu mengangguk, tapi menunduk.

Aku menepuk pundaknya pelan, Akam sedikit terkejut, tapi berhasil membuatnya menoleh padaku. 

“Emang Bapak Ibukmu kemana, Kam?”

“Enggak kenal Bapak Ibu, Kak.” Ia menunduk lagi, memperhatikan ujung kakinya yang sebenarnya tidak akan kemana-mana. “Dari kecil di panti,” lanjutnya.

“Sekarang?”

Ia menggeleng atas pertanyaanku. “Udah gede, Kak. Kasihan adik-adik di panti, kalau Akam di sana, nambahin biaya. Panti juga mulai kekurangan dana, Akam gamau jadi beban orang.”
Tuan kau bisa dengar itu? Seorang anak kecil, sebelas tahun, dan pemikirannya yang luar biasa.

“Tapi kamu nggak seharusnya kerja di umur segini, Kam. Kalau ada yang jahatin gimana?”

Akam mengangkat bahunya. “Udah biasa, Kak.”

Kami berdua, aku dan Akam kemudian sama-sama terdiam, memperhatikan kendaraan yang masih sibuk lalu lalang. Aku hanya bingung saja, bagaimana anak sekecilnya bisa begitu kuat, sabar, dan tegar. Ia bahkan sudah paham kalau hidup memang keras, dan terkadang, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menyangkalnya.

Aku mengedar pandang, tepat di sebelah halte ada kedai mie bakso yang masih buka, oh ralat, mungkin sebentar lagi tutup, maka aku harus terburu kesana, sebagai pembeli terakhir, tentu saja.

“Akam udah makan?” kataku akhirnya. Ia lagi-lagi menggeleng.

“Yuk ma—“

“Nggak usah, Kak,” katanya memutus ucapanku. Aku akhirnya harus sedikit memaksa sebelum ia bilang iya.

Begitu sampai, bapak penjualnya tertawa-tawa. Masih ada saja yang mau makan mie malam-malam begini, katanya. Aku tersenyum tipis, memesan dua porsi, satu makan di tempat, satu dibungkus. Kuharap besok masih belum basi, agar masih bisa Akam makan pagi-pagi.

“Kak, terimakasih.” Akam memakan makanan yang kubelikan untuknya, aku mengusap kepalanya pelan. Meminta maaf hanya bisa membelikannya makanan, Akam dengan tulus bilang hal yang kulakukan untuknya sudah amat membantu.

Ah, kuharap aku cepat besar, maksudku, cepat jadi orang, maksudku, banyak uang, hasil sendiri. Lalu kupakai untuk membantu orang-orang seperti Akam. Anak-anak yang seharusnya masih mengenyam pendidikan, tapi lebih dulu belajar dari keras kehidupan.

Saat akhirnya aku berpamitan dan masuk ke busway, hal yang paling pertama muncul di pikiranku adalah, bahwa ternyata, ada banyak hal di dunia ini yang tidak perlu kuta bayar tapi jelas-jelas berharga. Kebebasan misalnya, kita seringkali tidak menyadari, padahal tidak semua orang bisa memiliki. Kebebasan bermain, mengenyam pendidikan, atau kebebasan menetap di rumah yang nyaman.

Ah, aku menghela napas berat, semoga takdir membawa nasib baik untuk Akam, semoga dunia benar-benar bisa berputar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Ningsih untuk Mandala

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

BELA NEGARA