Tentang Malam
Aku cinta sekali personifikasi, dan kali ini aku membuat
malam menjelma manusia. Di kotaku, malam berjalan pelan-pelan, mengendap seolah
ia adalah buronan penjara yang punya catatan kriminal di mana-mana. Tapi memang
mungkin begitu, ia banyak membuat penduduk lainnya menangis, atau menyimpan
sesak sambil meringis. Penjahat paling berbahaya, sebab di kotaku, keluhan dan
air mata adalah dosa.
Yang kuingat dari Malam adalah, aku pernah jadi hakim dan
jaksa di pengadilannya. Aku menyatakan ia dibebaskan dan bersalah secara
bersamaan. Saksi yang hadir jadi kebingungan dan membiarkan sidang ditunda sampai
minggu depan. Selama itu, Malam hanya jadi tahanan yang tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia payah dan terlihat begitu lelah.
Dulu aku sempat mencintainya, maksudnya, aku mencintai
bulan dan bintang yang dihadiahkannya untukku. Hanya sebentar saja, sampai pagi
datang dan keduanya menghilang. Aku pernah bertanya kenapa ia begitu semu, ia
bilang, salahkan saja waktu.
Salahkan saja waktu.
Salahkan saja waktu.
Mungkin memang harus kusalahkan waktu, sebab membuatnya
menemuiku.
Aku tahu Malam tidak begitu suka berisik. Ia selalu
memakai penutup telinga kebesaran yang memutar lagu-lagu paling tidak mau
didengar, ia juga menyimpan bait-bait puisi di jantungnya yang berdetak cepat.
Orang bilang, Malam adalah penyerap yang handal, ia menyerap segala pesakitan
semesta. Tapi buruknya, ia juga menyebarkannya. Ia tak pandai menyimpan
rahasia. Ia membuat segala hal tampak jelas dan terbebas dari topeng pura-pura.
Omong-omong, ia sedang menatap ke arahku sekarang. Arah
jam sebelas. Ya ampun, sebentar.
“Kau tahu kenapa orang-orang tidak suka aku?”
Aku menggeleng.
“Kau tahu kenapa kau tidak suka aku?”
Aku lagi-lagi menggeleng.
“Aku terlalu jujur,” katanya sambil tertawa.
Ia mendekat, berbisik, dan detik itu aku merasa jiwaku
terserap dalam pusarannya.
“Dan di kotamu ini, jujur berarti menjadi hancur.”
Komentar
Posting Komentar