Cita-Cita

aku malu sekali untuk bilang pada ibu. di pagi yang dulu, aku sempat punya cita-cita jadi penulis buku. tidak perlu yang luar biasa, cerita anak-anak saja. mimpi itu kemudian kugantungkan di buku matematika. yang mana kemudian ibu menyadari, sebab ada empat di halaman depannya.

ibu menjemur buku matematikaku dan tidak berkata apa-apa. aku tahu ia marah, ia ingin aku jadi pegawai negeri. anak pertama penghasilannya harus bisa menyekolahkan adik-adik nanti.

siangnya aku bercita-cita jadi penyanyi. ibu menerka-nerka kenapa ada suara yang berisik sekali di kamar mandi. maka ia mencuci pakaian-pakaian di lemari, mendekat dan mendengarku sambil berbisik-bisik sendiri.

suaraku di simpannya di kantung celana, bukan yang dangkal, kantungnya sedikit panjang, hingga susah bagiku untuk menggapai dan membebaskan.

matahari kemudian terbenam dan aku mengabadikannya dalam ingatan, lalu sekejap saja, aku mau jadi pelukis. maka ku ambil oranye dari baskara, biru dari samudera, hijau dari bumantara, dan merah muda dari gincunya.

malamnya, ibu mengajakku duduk di teras, gincunya tinggal setengah dan aku merasa susah. aku tidak punya apapun untuk menggantinya.

cukup jadi anak baik, katanya. dan jangan berubah-berbuat semena-mena.

ibuku mau jadi psikolog, tapi ia justru jadi ibukku.

sebagian mimpi memang harus jadi rahasia, sebagian besar hidup ibu adalah rahasia.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Ningsih untuk Mandala

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

BELA NEGARA