Kata Bapak, Cinta Bukan Ilmu Eksakta


Tidak ada hujan pagi ini, maka Bapak mengeluarkan dan mencuci si Runi di depan rumah. Iya, Runi, nama motor Bapak. Motor tua itu dimiliki Bapak sejak masa muda, terlalu banyak kenang yang membuatnya jadi tak bisa tergantikan. Dengar-dengar, Ibu perempuan pertama yang berhasil duduk di boncengannya. Kalau sudah diungkit masalah itu, Ibu bakal tersipu dan Bapak bakal usil agar Ibu cemburu. “Ibu nggak tau, pacar-pacar sebelumnya dijemput pakai mobil dulu.”

Omong-omong tentang pacar sebelumnya, aku selalu bertanya-tanya perihal hubungan Bapak dengan perempuan yang bersamanya sebelum Ibu. Maksudnya, Bapak bilang ia suka Ibu sejak jaman sekolah, lantas kenapa tidak langsung bilang dan mereka bisa berdua sejak muda? Kenapa harus lebih dulu banyak perempuan lainnya?

“Laki-laki itu, tetap laki-laki, In.” Bapak selalu jawab begitu, dan menurutku itu terlalu ambigu.

“Yah, perempuan juga tetap perempuan, Pak? Masa berubah jadi kura-kura?”

Bapak tertawa sambil menyirami Runi dengan air yang dibawanya. “Ya, maksudnya, laki-laki itu tetap pencinta wanita. Jaman sekolah, yang Bapak suka itu banyak. Bukan cuma Ibu. Dan masa itu, adalah masa dimana Bapak penasaran dan mau tau, mana yang betulan cinta, mana yang rasa semu.”

“Jadi perempuan sebelum Ibu, cuma bahan percobaan, gitu?”

“Ya enggak dong, kamu kira cinta itu praktikum di laboratorium?”

“Mungkin? Soalnya ya pak, aku tuh sebelum praktikum biasanya pakai alat pelindung diri. Sebelum jatuh cinta juga harusnya begitu, kan?”

“Bakal bahaya kalau ada kekeliruan atau kesalahan yang nggak disadari. Kalo praktikum, paling ketumpahan bahan kimia. Kalo jatuh cinta, bisa ketumpahan harapan maya. Kan, berabe juga?”

“In, In, cinta itu bukan ilmu eksakta,” kata Bapak sambil geleng-geleng kepala, ikut digelengkannya setir Runi ke kanan, sekarang bagian kirinya yang hendak dibersihkan.

“Kamu nggak bisa bikin perbandingan tentang kekeliruan dan kesalahan seperti itu. Dalam cinta, kadang kita butuh salah dan keliru, karena kalau nggak begitu, kamu bisa kembali jatuh dan patah di lain waktu.”

Aku mengangguk seolah paham, padahal tidak. Yah, lagipula, kata-kata Bapak memang selalu begitu, butuh kucerna lebih dulu.

“Pak, kalo semisal Bapak matahin banyak hati, gimana?”

“Maksudnya?”

“Ya, matahin banyak hati, cuma buat nyelamatin hatinya Ibuk.”

Bapak menyeka keringatnya di dahi. Sekarang ini di usapnya Runi pakai kain lap, sampai motor tua itu mengilap. “Kita cuma manusia, In. Kita nggak bisa berjasa dan menjaga semua orang di dunia.”

Betul juga, kita bukan superhero, yang bisa menyelamatkan warga sekota, yang namanya dipajang dimana-mana, dan kostumnya dibuat jadi baju anak balita.

“Dan, nggak akan kelar kalau bahas perkara cinta. Mending kamu ambilin kopi Bapak di meja.”

Aku menampakkan ekspresi datar, ah, aku sudah duduk terlalu nyaman dan jadi malas berjalan.

“Loh dimintain tolong Bapaknya kok git—“

“Iya, iya.” Well, semalas apapun, pasti akhirnya akan kukerjakan, sebab walaupun surga di telapak kaki Ibu, ridha Bapak jelas punya pengaruh, biar kata hanya satu banding seribu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Ningsih untuk Mandala

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

BELA NEGARA