Justifikasi Patah Hati

Pada periode pertama, kudengar persona-persona meminta kuasa untuk lari sekencang-kencangnya. Merutuklah Semesta mendengarnya, mengapa tidak langsung menjadi bintang jatuh saja? Kecepatan cahaya jelas lebih laju dibanding kaki-kaki yang menapak di mayapada. Persona tidak terima, balas menyahutlah ia, kau pikir aku mau jatuh dalam kedua?

Lalu setelahnya, ia menjelma kaum-kaum eskapis yang lomba lari tiap terbit baskara. Semesta merutuk lagi, tahu betul kalau siang hari nanti mereka akan berhenti dan meminum kembali segala hal yang dilarang; wujudnya asa, harapan, dan kenang. Persona menulikan telinga, pening ia mendengar Semesta, dan karena hanya dia yang punya akal, dianggapnya Semesta terlalu bodoh untuk paham. Bahwa terkadang, ia kabur untuk melupakan; atau memang untuk mengingat.

Siklus berputar selagi beradu rapal, semburat jingga bumantara membuat mereka menutup mata, membiarkan semilir angin membelai wajah-wajah—yang untuk beberapa alasan terlihat tidak rela. Hanya sebentar, sebelum akhirnya gelap dan luna menyapa.

Malam selalu menjelma mata pisau, pilih dibunuh atau gunakan ia untuk hidangan. Semesta bakal pilih opsi kedua, hanya agar Persona tahu, biar kata ia tak punya akal, ia tetap lebih pintar. Proyeksi rasi bintang di gambarkan di langit kamar, berhubungan, berikatan, erat, tanpa menjerat. Dan untuk kali ini saja, Persona harap dirinya buta, karena sungguh—JIKA BENAR MAU MEMBUNUH TOLONG JANGAN PELAN DAN MENYIKSA. TOLONG JANGAN DENGAN SENJATA BERJUDUL TAK MAMPU ALPA.

Pelan, Semesta merengkuhnya. “Tenang, tenang, kita masih punya periode lainnya."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Ningsih untuk Mandala

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

BELA NEGARA