Jemma Adam #2
"Kau masih suka menulis?"
ㅤㅤPertanyaanmu kala itu hanya kujawab anggukan, kan, Dam? Sederhana sekali. Padahal bagiku, itu pertanyaan yang kompleks.
ㅤㅤAku hanya tidak mau kau mengulik lebih lanjut, aku belum siap kalau kau kemudian bertanya, menulis tentang apa? Menulis tentang siapa? Apa ada kita di--ah bodoh, abaikan. Imajinasiku memang sudah bergerak kejauhan.
ㅤㅤKadang-kadang aku takut, Dam. Aku takut akan terbangun dan melupakan segalanya, aku takut akan terbangun dengan perasaan kosong yang membuatku ingin lari sampai surya setinggi kepala, dan, dan siapa pula yang bisa jamin esok aku masih buka mata?
ㅤㅤMungkin karena itu aku masih terus menulis. Menuliskan apa saja yang aku temukan, dan yang masih kucari dalam pikiran. Orang-orang berpikir untuk menulis. Aku? Dari menulislah aku berpikir. Barangkali sebab itu, tulisanku tak pernah menemui akhir. Sebab seiring aksara yang kuukir, ada hal baru yang senantiasa lahir.
ㅤㅤ"Jemma, kalau kehidupan kita adalah cerita, apa aku akan jadi tokoh jahatnya?"
ㅤㅤKepulan asap cerutumu menguar ke udara, bergabung dengan karbon dioksida yang sebelumnya menghuni rongga dada. Kepalaku tidak memproses jawaban secepat biasanya, aku terdiam, memahami dan berhati-hati sebab siapa yang tahu kalau kau mungkin hanya mau tanggapan yang bisa kau dengar?
ㅤㅤ"Apa aku terlihat seperti Tuhan?" tanyaku akhirnya.
ㅤㅤ"Yah, kau indah."
ㅤㅤDam, apa kau bisa tidak semena-mena dalam bicara? Kau bicara begitu, lalu perkataanmu masuk ke telingaku, lalu gendang telingaku menangkapnya dan mendorongnya ke organ penghasil empedu. (Iya! Langsung ke hati! Tidak pakai transit ke otak dulu! Bahaya tau!)
ㅤㅤ"Adam, dengar ya, aku nggak punya kuasa menentukan peranmu dalam cerita. Kau tahu kan cuma Tuhan yang bisa?"
ㅤㅤTidak sia-sia aku belajar merasionalkan pikiran, perkataanmu tentang indah itu akhirnya sampai juga di stasiun kepalaku, dan sekujur tubuhku langsung tunduk pada perintahnya yang bilang, 'kendalikan dirimu, Jemma. Jatuh karena kata itu sungguh cuma kekeliruan semata!'
ㅤㅤLalu, aku tidak tahu apa sebabnya tapi kudengar kau mendengus kesal, "Halah. Orang sekarang banyak begitu kok."
ㅤㅤ"Menentukan peran orang lain sesuka hati. Mereka pikir mereka cukup Tuhan untuk berfirman begitu dan begini," katamu dengan nada yang lebih kesal lagi.
ㅤㅤIni, aku tidak salah dengar, 'kan? Maksudnya, baru kali ini kudengar seorang Adam begitu peduli pada penilaian orang--tapi terserah sih, aku kan bukan Tuhan yang bisa menghakimi dan menyimpulkan. Lagipula, orang bisa berubah kapan saja, 'kan?
ㅤㅤ"Kita punya dua telinga dan satu mulut, 'kan, Dam?"
ㅤㅤ"Iya."
ㅤㅤ"Menurutmu untuk apa?"
ㅤㅤ"Entah?"
ㅤㅤNetramu menyapaku, menarikku perlahan dalam pusaranya. Seharusnya aku khawatir terbawa, tapi kenapa aku justru merasa sebaliknya? Tak apa, bila pada atmamu, aku rela.
ㅤㅤ"Biar lapang, Dam." Aku memutus pandang. "Sebab satu telinga nggak bakal cukup untuk dengar perkataan-perkataan yang kebesaran."
ㅤㅤKau menghembuskan napas pelan, dan aku menyimpulkannya sebagai tanggapan. Kita membiarkan keheningan mengambil bagian--sebab selalu begitu, 'kan? Selalu butuh waktu untuk mencerna segala, selalu butuh tenang yang mengudara.
ㅤㅤ"Jemmari."
ㅤㅤAku terhenyak begitu kau memanggilku dengan berbeda. Lebih terhenyak lagi ketika telapakmu mengambil milikku dan menyatukannya.
ㅤㅤ"Ternyata kau benar merengkuh segalanya, ya?"
ㅤㅤKepalaku lagi-lagi berproses lama. "Hah? Apa?"
ㅤㅤ"Ajari aku, bisa?"
Komentar
Posting Komentar