Jemma Adam #1

Begini, Bapakku bilang, seorang lelaki harus jadi berani. Betul, tidak masalah untuk sesekali ber-air mata, toh, kita semua cukup manusia. Menjadi sedih itu bukan dosa. Menjadi tidak baik-baik saja itu bukan nista.


ㅤㅤTapi, Dam. Berani itu penting, apalagi berani menerima dan memaafkan dengan rela. Iya, aku tahu, orang-orang banyak berkoar perihal roda kehidupan. Sementara di ujung lainnya, banyak yang harus menerima kalau ternyata roda mereka nggak bergerak barang sesenti. Roda mereka berhenti, dan mungkin, memang begitu takdir yang harus mereka imani.


ㅤㅤTapi, Dam. Bukankah kita memang sesekali butuh berhenti? Bukankah memang, kita tidak akan abadi? Sama seperti waktu kau tidur dan mencukupkan bekerja, sama seperti kau diam dan mencukupkan beradu dengan dunia.


ㅤㅤ"Kalau lahir kembali, aku lebih baik jadi buih di lautan saja," katamu waktu itu. Angin pantai menerbangkan rambutmu yang mulai gondrong sebahu, pasti sudah nggak cukur dua bulan. Kebiasaan.


ㅤㅤ"Ibukmu gimana?"


ㅤㅤ"Gimana apanya?"


ㅤㅤ"Jadi kehilangan salah satu harapannya."


ㅤㅤ"Memang ada yang bisa diharapkan dariku?"


ㅤㅤBanyak, Dam, dan cuma kau yang nggak sadar.


ㅤㅤAku banyak bertanya pada Ibuk, Dam, dan semuanya berawal dengan kata mengapa. Mengapa banyak orang yang menyesal dilahirkan? Mengapa banyak orang membenci dirinya sendiri? Mengapa waktu berjalan terlalu laju saat bahagia, dan terlalu lambat saat duka? Dan, mengapa kita adalah rumah, padahal kita pun butuh pulang?


ㅤㅤIbuk tidak pernah bosan menjawab pertanyaanku yang luar biasa ngawur. Aku beruntung punya kamus bahasa sepertinya, aku beruntung ia sesabar itu padahal aku banyak bicara macam balita.


ㅤㅤ"Ibukku bilang, waktu bayi, nggak ada manusia yang mau bunuh diri."


ㅤㅤ"Iyalah, mereka belum ngerti apa-apa."


ㅤㅤ"Nah bagian menariknya ini. Apakah dengan 'ngerti apa-apa' membuat kita jadi gila? Apakah dengan 'ngerti apa-apa' kita jadi mati rasa?" Matamu terlempar pada hamparan pasir yang punya bagian satu perdelapan bila dibanding dengan lautan. Menangkap tidak ada respons yang kau berikan, aku melanjutkan pertanyaan. "Jadi kita paham, atau hampa, Dam?"


ㅤㅤ"Nggak tahu, Jemma. Menurutmu kita ini sedang hidup atau perlahan-lahan mati?" Kau akhirnya membagi atensi, kupikir waktu itu, kau memang sekesal itu karena aku banyak bicara.


ㅤㅤ"Menurutku, kehidupan itu, eksekusi mati yang panjang dan membosankan." Kau menjawab pertanyaanmu sendiri.


ㅤㅤAku tidak pernah begitu kaget dengan jalan pikiranmu, Dam. Bahkan kupikir aku bisa jadi cenayang yang tahu apa saja isi kepalamu. Tapi menjadi cenayang pun, nggak cukup, Dam. Aku mau juga merapihkan buku-buku di kepalamu. Buku-buku yang barangkali terjatuh dan berada di rak yang salah. Buku-buku yang berisi kata senang, suka, bahagia, gempita--kata apapun selain duka.


ㅤㅤ"Dam."


ㅤㅤ"Hm."


ㅤㅤ"Sekarang kau masih bosan juga?"


ㅤㅤ"Maksudnya?"


ㅤㅤ"Saat ini. Waktu sama aku. Hidupmu, masih jadi eksekusi mati yang membosankan juga?"


ㅤㅤAku berdiri. Berhenti mengamati baskara yang perlahan dimakan samudera. Aku melihat kau menatapku dan mengabaikan senja.


ㅤㅤ"Pertanyaan itu, nggak usah kau jawab, Dam. Ayo pulang."



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Ningsih untuk Mandala

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

BELA NEGARA