Perbincangan dengan Tuan Bulan
Semalam aku naik ke atap rumah, tidak peduli meski Ibu marah-marah. Bapak
menonton televisi dan terlihat tidak peduli, barangkali ia pikir, anak yang Ibu
maksud adalah laki-laki.
“Sebentar, Bu. Sebentar saja.”
“Ya sudah, cepat kembali, jangan jatuh. Ibu masih butuh
tanganmu untuk memotong sayuran
dan berbenah”
Di atas atap, aku menyapa langit malam dan Tuan Bulan. Kutanya mengapa
gelap sekali, aku jadi tidak bisa terka apakah ia sedang sedih, atau tidak.
“Aku sudah sejak mati dari sejak dihidupkan,” katanya
tiba-tiba.
Kulihat permukaannya yang tidak rata –hanya untuk tidak bilang gradakan.
“Dan setiap malam adalah upacaranya. Upacara kematian.”
“Kulihat bintang jatuh, menyapa komet yang apinya utuh,
dan menerima cahaya matahari dan sinarnya yang mulai rapuh.”
“Aku menyerap kesedihan semesta, dan mati begitu saja.”
Tuan Bulan lalu menatapku sebelum melanjutkan. “Sekarang kau, apa yang
hendak kau ceritakan?”
Aku terdiam mendengar pernyataannya yang seperti cenayang. Aku kira kita
akan berbincang, ternyata ia hanya akan jadi telinga.
“Bagaimana kalau semsta tidak sedih?” tanyaku, aku tidak
bisa mengartikan air mukanya yang datar saja –meski tidak rata. Maka aku
melanjutkan, “bagaimana kalau bintang itu jatuh dalam kerelaan, hanya agar anak
adam bisa berharap cemas keinginannya kesamapaian? Bagaimana kalau komet itu berlalu
dengan api yang membantu ibu-ibu di dapur, atau anak-anak kemah dalam api
unggun? Bagaimana kalau matahari sengaja bersinar rapuh, agar tidak ada satupun
yang meluruh?”
Aku terdiam. Tuan Bulan terdiam.
“Kau masih hidup,” katanya.
“Dan hari ini aku tidak mati.”
Komentar
Posting Komentar