Postingan

BELA NEGARA

  Bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang didasari kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bela negara sendiri sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Unsur dasar dari bela negara meliputi cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, meyakini pancasila sebagai ideologi bangsa, rela berkorban bagi bangsa dan negara serta memiliki kemampuan awal bela negara. Dengan bela negara, kita memberikan manfaat bagi bangsa dan negara yakni mempertahankan negara dari berbagai ancaman serta menjaga keutuhan wilayah negara. Selain itu, kita juga mendapat manfaat bagi diri sendiri, contohnya, membentuk mental fisik yang tanggung, melatih jiwa memimpin diri ataupun kelompok, menghilangkan sifat negatif dan yang terpenting menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan menanamkan patriotisme. Sebagai generasi muda, kita harus menanamkan serta mengamalkan p...

Kepada yang Tak Mampu Kugenggam

  Aku menemui potongan-potongan di sudut jalan kota metropolitan, terhambur dari ban-ban mobil yang terkena ranjau, turun lewat hujan-hujan pukul empat siang, dan mengalir menuju hulu yang kesepian. Kita hidup dalam ramai, bangun dari pagi ke pagi hanya untuk sadar bahwa ada banyak hal yang perlu dilakukan. Tapi persetan! Bukankah istirahat adalah satu-satunya yang kita butuhkan? Sebab selama ini, rasanya bagai lari ke medan perang tanpa senapan, tanpa zirah barang selengan. Kaki-kaki yang tertancap duri, telapak yang terkena pecahan kaca, raga yang terhempas angin badai, atau jiwa yang disambangi kerinduan; semua sama menyakitkan. Skenario baik-baik saja barangkali bekerja sejalan terbit baskara, tapi begitu tiba giliran luna, mata kita tertidur sementara hati tetap terbuka. Ada luka di sana. Tengoklah sebentar saja. Dengarkan dan jangan dicela. Perhatikan dan jangan berpaling dari pandangnya. Dekap dan jangan lepaskan ia. Rapuh, luruh, dan menangislah bersamanya. Tidak ap...

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

  Ada seorang pedagang baju yang berteman dengan seorang pemerkosa. Suatu waktu, dengan rasa penasarannya, pedagang baju itu bertanya. Baju seperti apa yang dikenakan korban-korban si Pemerkosa? Si Pemerkosa terdiam sebentar, ia lalu menunjuk sebuah tanktop merah muda yang dipajang di toko. Pedagang baju lantas memerintah pegawainya untuk mengambil tanktop merah muda tersebut dan membakarnya, berikut setiap stock tanktop yang mereka punya. Esoknya, si Pemerkosa kembali duduk santai di depan toko, dan televisi menayangkan berita kriminalitas seperti itu adalah hal biasa. Seorang wanita kantoran dilecehkan dan dibuat tak bernyawa. Pedagang kebingungan, ia lantas meminta pegawainya untuk mengambil dan membakar segala jenis baju kantoran. Sore harinya, Pedagang menerima kertas selebaran orang hilang, jenis kelaminnya wanita, dan tertulis baju yang terakhir dipakainya di sana. Jilbab panjang dan gamis cokelat muda. Tidak lama setelah itu, didapatnya kabar bahwa gadis tersebut dite...

Saksi

Barangkali kami cuma rentetan gedung tinggi baja beton, yang sengaja dibuat demi keberlangsungan adil atau kelancaran lakon. Abu-abu, tinggi, bisu, dan, mati--barangkali memang begitulah potret adil yang kalian imani.  Barangkali kami cuma sulur-sulur dedaunan, dan batang, dan akar, yang kerap menjumpa manusia berkelakar, walau lebih sering bertengkar. Kokoh, langka dan tak banyak yang peduli--barangkali memang begitulah potret toleransi yang kalian pahami. Barangkali kami cuma oplet-oplet tua yang kehabisan bahan bakarnya, yang kerap dijejal makhluk beragam rupa, pulang pasar, berangkat kantor, hendak belajar, hendak naik pamor. Tua, tergesa-gesa, dan kumuh tiada tara--barangkali memang begitulah potret moral dan etika. Barangkali kami bisu, buta, dan tuli, kerap menyaksikan, tanpa bisa berbuat apapun yang mampu membenahi. Barangkali kami bersuara tanpa suara. Barangkali kami melihat tanpa cahaya. Barangkali kami mencium tanpa terasa. Barangkali benar, kami benda-benda mati. Ah Tu...

Dari Ningsih untuk Mandala

 Dari Ningsih untuk Mandala Man, malam kau izin untuk ikut barisan itu, kalau bisa, aku hendak bilang tidak. Tapi aku bisa apa, Man? Bukankah egois bila pentingkan hatiku di atas perjuanganmu? Bukankah kacau bila aku tak pahami beban yang kau pangku? Bukankah negeri kita lebih butuh pemudanya untuk maju ketimbang mundur dan berbulan madu? Aku ingat, Man. Malam itu kau datang dengan sekujur muka lebam-lebam. Membawaku pada berita harian yang selalu terputar dari radio Bapak setiap kali aku menyapu halaman. Katanya, ada serangan dari penjajah, dan pemuda-pemuda sekali lagi terjarah. Mandala, hendak kukatakan bahwa, mencintaimu nyatanya begitu sulit. Penderitaan rakyat berada di antaranya, dan pilihannya hanya dua; aku yang sakit, atau kau yang tak lagi bangkit. Mandala, mencintaimu nyatanya pahit. Tapi semua itu cuma ada di pikiranku, kau tak perlu tau. Tak perlu keegoisanku ini berdampak padamu. Maka malam itu yang kukatakan justru berkebalikan. Berjalanlah, Man. Maju saja, aku akan...

Jemma Adam #3

 Aku kembali tidak masuk akalmu, ya, Dam? Terbukti. Tatapanmu begitu sangsi. Begitu ingin mengkritisi. "Kamu konyol. Emangnya kita bisa tau kapan kita nyakitin seseorang?" tanyamu, sebagai respon dari pernyataanku barusan; Kita selalu bisa tahu kapan kita menyakiti orang lain, Dam. Selalu. Kamu pasti tahu betul tentang hal itu. Tidak ada suara debur ombak yang setidaknya membunuh sunyi. Cuma beberapa bintang yang kebetulan intip-intip menemani. "Sure, kita bisa sadar. Mungkin kitanya aja yang nggak mau tau?"  "Apa tanda-tandanya?" "Tanda-tanda yang kita rasain kalau nyakitin orang lain?" tanyamu lagi. Aku berani bersumpah, kalau ada seorang di dunia ini yang ingin ku hindari dalam lomba debat, orang itu adalah kamu, Dam. Nada bicaramu terlalu tajam, tapi entah bagaimana bukan sakit yang kurasakan, aku justru, kewalahan? Aku mungkin bisa mengalah kalau kau pinta. Meski aku sendiri keras kepala. "Kita menyakiti orang saat kita nggak bahagia. S...

Jemma Adam #2

"Kau masih suka menulis?" ㅤㅤPertanyaanmu kala itu hanya kujawab anggukan, kan, Dam? Sederhana sekali. Padahal bagiku, itu pertanyaan yang kompleks. ㅤㅤAku hanya tidak mau kau mengulik lebih lanjut, aku belum siap kalau kau kemudian bertanya, menulis tentang apa? Menulis tentang siapa? Apa ada kita di--ah bodoh, abaikan. Imajinasiku memang sudah bergerak kejauhan. ㅤㅤKadang-kadang aku takut, Dam. Aku takut akan terbangun dan melupakan segalanya, aku takut akan terbangun dengan perasaan kosong yang membuatku ingin lari sampai surya setinggi kepala, dan, dan siapa pula yang bisa jamin esok aku masih buka mata? ㅤㅤMungkin karena itu aku masih terus menulis. Menuliskan apa saja yang aku temukan, dan yang masih kucari dalam pikiran. Orang-orang berpikir untuk menulis. Aku? Dari menulislah aku berpikir. Barangkali sebab itu, tulisanku tak pernah menemui akhir. Sebab seiring aksara yang kuukir, ada hal baru yang senantiasa lahir. ㅤㅤ"Jemma, kalau kehidupan kita adalah cer...