Dari Ningsih untuk Mandala

 Dari Ningsih untuk Mandala


Man, malam kau izin untuk ikut barisan itu, kalau bisa, aku hendak bilang tidak. Tapi aku bisa apa, Man? Bukankah egois bila pentingkan hatiku di atas perjuanganmu? Bukankah kacau bila aku tak pahami beban yang kau pangku? Bukankah negeri kita lebih butuh pemudanya untuk maju ketimbang mundur dan berbulan madu?


Aku ingat, Man. Malam itu kau datang dengan sekujur muka lebam-lebam. Membawaku pada berita harian yang selalu terputar dari radio Bapak setiap kali aku menyapu halaman. Katanya, ada serangan dari penjajah, dan pemuda-pemuda sekali lagi terjarah.


Mandala, hendak kukatakan bahwa, mencintaimu nyatanya begitu sulit. Penderitaan rakyat berada di antaranya, dan pilihannya hanya dua; aku yang sakit, atau kau yang tak lagi bangkit. Mandala, mencintaimu nyatanya pahit.


Tapi semua itu cuma ada di pikiranku, kau tak perlu tau. Tak perlu keegoisanku ini berdampak padamu. Maka malam itu yang kukatakan justru berkebalikan. Berjalanlah, Man. Maju saja, aku akan menunggu di belakang. Semoga kau selalu ingat kemana harus pulang.


Lantas kau bawa beberapa jajanan pasar yang aku suguhkan. Untuk beberapa teman di barak, katamu. Mereka mesti senang seolah kau membawa perak, balasku. 


Lalu kita tertawa. Tawa macam apa, Man? Tawa macam apa yang malam itu kita bagi berdua? Bahagia? Atau, salam pisah memaksa rela?


Melihat punggungmu yang perlahan habis di makan ujung jalan, pikiranku berlarian. Bagaimana kalau aku mencuri mesin waktu? Lalu membawamu ke masa di mana tidak ada peperangan ini dan itu, lalu hidup bahagia tanpa beban-beban di pangkuanmu. 


Karena sungguh, Man. Kau cuma pemuda, dan pemuda itu banyak jumlahnya. Apakah boleh bila kuharap orang lain menggantikan posisimu di sana?


Tapi tidak. Sekali lagi kudengar radio Bapak. Sekali lagi kudengar suara-suara minta tolong dari penjuru negeri kita. Sekali lagi kudengar degup-degup yang ingin merdeka.


Sekali lagi, aku, melepasmu dengan rela.


Harapku tak banyak, Man. Semoga selalu tenang, dimanapun kau sekarang berada.


Merdeka, Mandala.

Merdeka.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

BELA NEGARA