Kepada yang Tak Mampu Kugenggam
Aku menemui potongan-potongan di sudut jalan kota metropolitan, terhambur dari ban-ban mobil yang terkena ranjau, turun lewat hujan-hujan pukul empat siang, dan mengalir menuju hulu yang kesepian.
Kita hidup dalam ramai, bangun dari pagi ke pagi hanya
untuk sadar bahwa ada banyak hal yang perlu dilakukan. Tapi persetan! Bukankah
istirahat adalah satu-satunya yang kita butuhkan? Sebab selama ini, rasanya
bagai lari ke medan perang tanpa senapan, tanpa zirah barang selengan.
Kaki-kaki yang tertancap duri, telapak yang terkena
pecahan kaca, raga yang terhempas angin badai, atau jiwa yang disambangi
kerinduan; semua sama menyakitkan. Skenario baik-baik saja barangkali bekerja
sejalan terbit baskara, tapi begitu tiba giliran luna, mata kita tertidur
sementara hati tetap terbuka.
Ada luka di sana. Tengoklah sebentar saja. Dengarkan dan
jangan dicela. Perhatikan dan jangan berpaling dari pandangnya. Dekap dan
jangan lepaskan ia. Rapuh, luruh, dan menangislah bersamanya.
Tidak apa-apa bila punya hati yang diperban di mana-mana, setiap kita adalah pejuangnya.
Dan meskipun belum, setiap kita tetaplah ksatria.
Komentar
Posting Komentar