Jemma Adam #3

 Aku kembali tidak masuk akalmu, ya, Dam? Terbukti. Tatapanmu begitu sangsi. Begitu ingin mengkritisi.


"Kamu konyol. Emangnya kita bisa tau kapan kita nyakitin seseorang?" tanyamu, sebagai respon dari pernyataanku barusan; Kita selalu bisa tahu kapan kita menyakiti orang lain, Dam. Selalu. Kamu pasti tahu betul tentang hal itu.


Tidak ada suara debur ombak yang setidaknya membunuh sunyi. Cuma beberapa bintang yang kebetulan intip-intip menemani. "Sure, kita bisa sadar. Mungkin kitanya aja yang nggak mau tau?" 


"Apa tanda-tandanya?"

"Tanda-tanda yang kita rasain kalau nyakitin orang lain?" tanyamu lagi.


Aku berani bersumpah, kalau ada seorang di dunia ini yang ingin ku hindari dalam lomba debat, orang itu adalah kamu, Dam.


Nada bicaramu terlalu tajam, tapi entah bagaimana bukan sakit yang kurasakan, aku justru, kewalahan? Aku mungkin bisa mengalah kalau kau pinta. Meski aku sendiri keras kepala.


"Kita menyakiti orang saat kita nggak bahagia. Saat itu, kita cenderung memikirkan diri sendiri. Ego itu yang membuat kita tanpa sadar menyakiti orang lainnya," jelasku akhirnya.


"Jadi, untuk nggak menyakiti orang lain, kita harus terus bahagia?"


Aku mengangguk, tersenyum kecil karena akhirnya, Dam, akhirnya kepalamu mampu menangkap intinya.


"Jangan bodoh. Jangan hidup di dongeng-dongeng karangan Ibumu. Stay real, Jemma. Stay real."


"Jadi menurutmu aku palsu?" kataku. Aku tidak terima kalau kau bawa-bawa Ibuku, dan apa itu? Stay real?


"Bukan begitu."


"Lantas?"


"Selama ini bagaimana? Bisa kau terus-menerus bahagia?"


Aku hendak menjawab iya, sebelum kau lebih dulu melanjutkan.


"Iya, bisa? Kau pasti jawab bisa, kan? Coba dipikir lagi. Itu benar bahagia, atau hanya pura-pura bahagia? Atau hanya sugesti di kepalamu yang kau coba sebarkan ke seluruh rangka?"


Kau menatapku sebelum berkata, "kita nggak lahir untuk menyenangkan semua orang, Jemma."


"Dan menurutmu, mana yang lebih sia-sia?" Napasmu meggantung di udara, memberi jeda. Membuatku bertanya-tanya, apa yang sia-sia?


"Menghabiskan waktu untuk berduka, atau, menghabiskan waktu untuk pura-pura bahagia?"


Aku terdiam, mencari pada kedalaman matamu yang sedari dulu menenggelamkan.


Sungguh, Dam. Baru kali ini, aku merasa ada yang sedikit salah dengan kepalaku. Dan baru kali ini, aku mendengarkan perkataan dari orang selain Ibu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Ningsih untuk Mandala

Pedagang Baju dan Tempurung Kepalamu

BELA NEGARA