Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Saksi

Barangkali kami cuma rentetan gedung tinggi baja beton, yang sengaja dibuat demi keberlangsungan adil atau kelancaran lakon. Abu-abu, tinggi, bisu, dan, mati--barangkali memang begitulah potret adil yang kalian imani.  Barangkali kami cuma sulur-sulur dedaunan, dan batang, dan akar, yang kerap menjumpa manusia berkelakar, walau lebih sering bertengkar. Kokoh, langka dan tak banyak yang peduli--barangkali memang begitulah potret toleransi yang kalian pahami. Barangkali kami cuma oplet-oplet tua yang kehabisan bahan bakarnya, yang kerap dijejal makhluk beragam rupa, pulang pasar, berangkat kantor, hendak belajar, hendak naik pamor. Tua, tergesa-gesa, dan kumuh tiada tara--barangkali memang begitulah potret moral dan etika. Barangkali kami bisu, buta, dan tuli, kerap menyaksikan, tanpa bisa berbuat apapun yang mampu membenahi. Barangkali kami bersuara tanpa suara. Barangkali kami melihat tanpa cahaya. Barangkali kami mencium tanpa terasa. Barangkali benar, kami benda-benda mati. Ah Tu...

Dari Ningsih untuk Mandala

 Dari Ningsih untuk Mandala Man, malam kau izin untuk ikut barisan itu, kalau bisa, aku hendak bilang tidak. Tapi aku bisa apa, Man? Bukankah egois bila pentingkan hatiku di atas perjuanganmu? Bukankah kacau bila aku tak pahami beban yang kau pangku? Bukankah negeri kita lebih butuh pemudanya untuk maju ketimbang mundur dan berbulan madu? Aku ingat, Man. Malam itu kau datang dengan sekujur muka lebam-lebam. Membawaku pada berita harian yang selalu terputar dari radio Bapak setiap kali aku menyapu halaman. Katanya, ada serangan dari penjajah, dan pemuda-pemuda sekali lagi terjarah. Mandala, hendak kukatakan bahwa, mencintaimu nyatanya begitu sulit. Penderitaan rakyat berada di antaranya, dan pilihannya hanya dua; aku yang sakit, atau kau yang tak lagi bangkit. Mandala, mencintaimu nyatanya pahit. Tapi semua itu cuma ada di pikiranku, kau tak perlu tau. Tak perlu keegoisanku ini berdampak padamu. Maka malam itu yang kukatakan justru berkebalikan. Berjalanlah, Man. Maju saja, aku akan...

Jemma Adam #3

 Aku kembali tidak masuk akalmu, ya, Dam? Terbukti. Tatapanmu begitu sangsi. Begitu ingin mengkritisi. "Kamu konyol. Emangnya kita bisa tau kapan kita nyakitin seseorang?" tanyamu, sebagai respon dari pernyataanku barusan; Kita selalu bisa tahu kapan kita menyakiti orang lain, Dam. Selalu. Kamu pasti tahu betul tentang hal itu. Tidak ada suara debur ombak yang setidaknya membunuh sunyi. Cuma beberapa bintang yang kebetulan intip-intip menemani. "Sure, kita bisa sadar. Mungkin kitanya aja yang nggak mau tau?"  "Apa tanda-tandanya?" "Tanda-tanda yang kita rasain kalau nyakitin orang lain?" tanyamu lagi. Aku berani bersumpah, kalau ada seorang di dunia ini yang ingin ku hindari dalam lomba debat, orang itu adalah kamu, Dam. Nada bicaramu terlalu tajam, tapi entah bagaimana bukan sakit yang kurasakan, aku justru, kewalahan? Aku mungkin bisa mengalah kalau kau pinta. Meski aku sendiri keras kepala. "Kita menyakiti orang saat kita nggak bahagia. S...